Nama Sony Sugema lekat
dengan bimbingan belajar Sony Sugema College (SSC) yang telah banyak membantu
siswa-siswi SMA selama bertahun-tahun untuk mempersiapkan diri masuk ke
perguruan tinggi.
Semboyan "The Fastest Solution" menjadi jargon yang sering didengungkan untuk menggambarkan kualitas pengajaran yang diberikan lewat bimbingan belajar tersebut.
Semboyan "The Fastest Solution" menjadi jargon yang sering didengungkan untuk menggambarkan kualitas pengajaran yang diberikan lewat bimbingan belajar tersebut.
Di balik nama tenar SSC, ada kisah perjalanan hidup Sony Sugema. Selain SSC, Sony Sugema juga turut membidani Sekolah Alfa Centauri di Bandung dan kantor berita Islam Mi'raj Islamic News Agency (MINA).
Untuk mengenang Sony Sugema yang meninggal dunia di Bandung, Minggu (31/1/2016), Kompas.com menurunkan kembali tulisan mengenai sosoknya dalam Fokus Kompas Minggu edisi 18 Mei 2003 berjudul "Secercah Harapan di Tengah Krisis".
*****
Sony Sugema mengaku mengawali kariernya sebagai "pengusaha" bimbingan belajar ketika duduk di kelas II SMU Negeri 3 Bandung saat berusia 15 tahun. Ketika itu, ayahnya meninggal dunia sehingga Sony harus bekerja untuk menghidupi ibu dan keempat adiknya. Ia lalu memberi les privat kepada teman-teman sekelasnya.
Sony Sugema mengaku mengawali kariernya sebagai "pengusaha" bimbingan belajar ketika duduk di kelas II SMU Negeri 3 Bandung saat berusia 15 tahun. Ketika itu, ayahnya meninggal dunia sehingga Sony harus bekerja untuk menghidupi ibu dan keempat adiknya. Ia lalu memberi les privat kepada teman-teman sekelasnya.
"Soalnya saya enggak
tahu harus ke mana nyari
orang yang mau les privat. Saya tawarin
ke teman-teman, mau enggak Rp 5.000 sebulan. Ternyata beberapa teman saya
mau," kata Sony. Dia memang dipercaya teman-temannya untuk mengajar,
mengingat otaknya yang cerdas.
Setelah mengajar
teman-temannya di SMU, Sony mengaku ketagihan mengajar dan merasa tertarik
dengan dunia pendidikan. "Awalnya saya tertarik, ngajar itu kok
enak. Terus, tiap minggu di SMU 3 ada try
out dan pembahasan, itu gratis. Itulah awal mula saya terjun ke
dunia bimbingan belajar," ujar Sony.
Tahun 1982, Sony lulus
tes masuk ke Institut Teknologi Bandung (ITB) Jurusan Teknik Sipil. Ketika dia
masih tingkat I, Sony memutuskan untuk menikah. Saat itu, istrinya kuliah di
jurusan Biologi ITB dan berumur sekitar tiga tahun lebih tua.
Setelah menikah, Sony
merasa tanggungannya semakin banyak. Akhirnya, untuk menambah penghasilan, dia
memutuskan untuk menjadi guru di SMU Angkasa, Bandung. Ketika itu, Sony
mengajar pelajaran Matematika, Fisika, dan Kimia untuk siswa kelas I, II, dan
III.
"Setelah itu, saya
bekerja sebagai pengajar di beberapa bimbingan belajar. Baru pada tahun 1990,
saya memutuskan untuk membuka bimbingan belajar sendiri," kata Sony.
Lokasi cikal bakal Sony
Sugema College (SSC) terletak di Jalan Dipatiukur. Modal awal pendirian bimbel
ini hanya Rp 1,5 juta, yang diperoleh Sony dari pembayaran royalti
buku-bukunya. Sony Sugema memang pernah menulis buku tentang pembahasan
soal-soal UMPTN yang setiap tahun selalu diperbaharui.
Awalnya, murid bimbingan
belajar ini hanya 140 orang, dan Sony satu-satunya pengajar. Uang sebesar Rp
1,5 juta itu, kata Sony, digunakannya untuk menyewa ruangan tempat belajar
sebesar Rp 750.000, dan sisanya untuk membayar gaji karyawan. Bimbingan belajar
ini awalnya hanya mengkhususkan diri sebagai bimbingan belajar intensif untuk
menghadapi ujian masuk perguruan tinggi negeri (UMPTN).
Lambat laun, Sony merasa
bahwa dirinya tidak bisa menikmati hasil jerih payahnya karena terlalu sibuk
bekerja sebagai pengajar tunggal. Akhirnya, dia memutuskan untuk meminta
teman-temannya dari ITB, UNPAD, dan IKIP (sekarang UPI) untuk membantunya
mengajar pada bimbingan belajar tersebut.
Tahun 1991, dia membuka
cabang di Jakarta, disusul dengan cabang-cabang di seluruh Indonesia. Lembaga
bimbingan belajar ini berhasil meluluskan 618 siswanya ke ITB. Jumlah ini, kata
Sony, menunjukkan bahwa hampir separuh mahasiswa ITB merupakan lulusan SSC.
Ketika ditanya apa yang
membedakan SSC dengan bimbingan belajar lain, Sony mengaku, dia menerapkan dua
sistem pengajaran. Pada sistem yang pertama, kata Sony, dia menciptakan sistem
penyelesaian soal dengan cepat yang diklaim sebagai the fastest solution.
Fastest solution, kata Sony, adalah cara belajar agar pelajaran lebih
mudah dipahami oleh siswa. Apabila siswa mudah memahami pelajaran, siswa akan
lebih bersemangat untuk belajar.
Selain the fastest solution,
Sony juga memiliki metode lain, yaitu learning
is fun. Dengan metode ini, kata Sony, siswa akan lebih bergairah
dan bersemangat dalam mempelajari pelajaran-pelajaran yang selama ini dianggap
menakutkan, seperti matematika dan fisika.
"Sebelumnya, banyak
siswa yang geuleuh
(tidak suka) sama Matematika. Sekarang, dengan metode ini, kami membuat anak
mencintai matematika," kata Sony.
Dengan kedua metode
pengajaran tersebut, mau tidak mau pengajar yang berminat untuk menjadi guru
SSC harus memenuhi sejumlah kriteria. Di antaranya, selain menguasai bahan
pelajaran yang akan diajarkan, pengajar juga tidak boleh terlalu serius dan
dapat diterima oleh siswa.
Sebelum menjadi pengajar
pun, kata Sony, mereka harus melewati beberapa tes. Ujian yang pertama adalah
tes tertulis untuk mengetahui seberapa jauh calon pengajar menguasai materi
pelajaran yang diajarkan.
Setelah itu, mereka diharuskan melakukan simulasi mengajar di depan guru-guru SSC. Setelah magang selama tiga bulan, barulah calon pengajar tersebut diangkat menjadi pengajar tetap.
Setelah itu, mereka diharuskan melakukan simulasi mengajar di depan guru-guru SSC. Setelah magang selama tiga bulan, barulah calon pengajar tersebut diangkat menjadi pengajar tetap.
Gaji yang diterima para
pengajar cukup memadai, mulai dari Rp 20.000 hingga Rp 50.000 setiap jam
mengajar. "Kami kan harus memperhatikan kesejahteraan guru-guru,"
kata Sony.
Selain berkat doa dan
kasih sayang ibu, Sony mengaku, salah satu kunci kesuksesannya yang lain adalah
berani untuk gagal. Kelemahan yang terdapat pada sebagian besar anak muda, kata
Sony, adalah karena sebagian besar dari mereka takut gagal. Padahal, kata Sony,
dengan kegagalan, kita bisa belajar banyak.
"Perusahaan besar
saja pernah gagal. Namun, umumnya, orang tidak pernah melihat kegagalan sebelum
kesuksesan yang mereka raih sekarang," kata Sony.
Dia juga menilai, anak muda sekarang umumnya tidak mau bersakit-sakit dalam memulai suatu usaha.
Dia juga menilai, anak muda sekarang umumnya tidak mau bersakit-sakit dalam memulai suatu usaha.
Sony memang berhasil
mengembangkan bisnisnya—yang semuanya masih di bidang pendidikan—hingga menjadi
empat perusahaan.
Tidak heran jika dia
menerima penghargaan dari ITB berupa Penghargaan Alumni ITB Berprestasi tahun
2002 dalam bidang industri. Sebelumnya, Sony memperoleh penghargaan Citra Top
Executive Indonesia tahun 1997 dan masuk dalam 50 Enterprise Semangat Wirausaha
Indonesia dari majalah SWA
dan Accenture.
Serius dan berkemauan
keras memang salah satu falsafah hidupnya. Hasilnya, dia sukses pada usia muda.
Menurut pepatah, di mana ada kemauan, di situ ada jalan.
Sumber: kompas.com/
0 komentar:
Posting Komentar