Get this widget!

Minggu, 07 Februari 2016

Perjalanan Manusia Memahami Sihir Gerhana



Menyambut Gerhana Matahari total 9 Maret 2016, harian Kompas menyiapkan liputan khusus seputar Gerhana Matahari dari berbagai aspek penyajian. Berisi ulasan teks, foto, dan infografis. Liputan khusus seperti ini akan diterbitkan setiap Rabu, yang dimulai hari ini Rabu (3/2/2016) di halaman 1, 24, dan 25 di koran Kompas. Liputan khusus akan hadir hingga gerhana tiba pada 9 Maret 2016. 

 
Sejak peradaban manusia dimulai, pemandangan langit selalu menimbulkan rasa takjub dan perasaan diri yang kecil. Berbagai peradaban kuno memaknai keanehan fenomena langit, seperti komet, meteor, dan Gerhana Matahari atau Bulan, sebagai pertanda petaka.
 
Kini, aneka peristiwa langka itu justru diburu demi kepuasan hasrat ingin tahu manusia.
Dari berbagai keganjilan itu, Gerhana Matahari dan Bulan yang paling banyak direkam manusia. Tak hanya karena keduanya sumber penerang pada waktu berbeda dan pemberi hangat Bumi, tetapi juga sumber energi dan penggerak kehidupan di planet biru.
Kekuatan Matahari dan Bulan membuat muncul keyakinan, menganggap dewa dan dewi yang memengaruhi nasib manusia. Keduanya sumber inspirasi pelukis goa pada masa prasejarah, pembaca mantra, penulis, pelukis, hingga sineas modern. Keteraturan kemunculannya jadi dasar perhitungan waktu. Mereka pula sumber romantisme dan inspirasi penggugah semangat nasionalisme sejumlah bangsa.
Namun, saat keteraturan dan sumber kehidupan itu terganggu, manusia masa lalu memaknai rusaknya tatanan kehidupan langit yang berdampak pada keharmonisan kehidupan Bumi. Kebetulan, gerhana sering menyertai berbagai peristiwa besar.
Catatan awal gerhana dari Tiongkok. Norma Reis dalam kumpulan tulisan di Famous Eclipses in History di astronomytoday.com menyebut raja menghukum dua astronom, Ho dan Hi, yang gagal memprediksi Gerhana Matahari total (GMT) pada 22 Oktober 2137 Sebelum Masehi (SM) karena terlalu mabuk. Akibatnya, raja tak bisa menyiapkan penabuh tambur dan pemanah untuk mengusir naga tak terlihat yang memakan Matahari.
Adapun catatan tertulis gerhana tertua ditemukan di lempeng tanah bangsa Babilonia di Ugarit, Suriah kini. Para peneliti menyebut gerhana terjadi 3 Mei 1375 SM. Namun, penelitian T de Jong dan WH van Soldt di Nature, 16 Maret 1989, menunjukkan 5 Maret 1223 SM. Catatan itu tak hanya akurat, tetapi juga mencatat pengulangan gerhana yang dikenal siklus Saros.

Di Tanah Air, catatan gerhana muncul belakangan. Catatan relatif banyak untuk gerhana Bulan, tetapi sangat jarang untuk Gerhana Matahari.
Trigangga dalam "Kajian Astronomi: Melacak Peristiwa Gerhana Bulan dalam Sumber Tertulis" dalam Aksara dan Bahasa, Asosiasi Ahli Epigrafi Indonesia, 2001, menyebut catatan tertua gerhana Bulan ditemukan di Prasasti Sucen di Temanggung, Jawa Tengah, yakni gerhana 19 Maret 843.
Mitologi
Bersamaan pencatatan itu, manusia berusaha memahami gerhana sesuai dengan kemampuan pikir dan zamannya. Usaha manusia memahami semesta dan dinamikanya itu melahirkan mitos. "Mitos berkembang atau dikembangkan untuk menjawab pertanyaan mendasar manusia tentang diri dan lingkungannya," kata ahli mitologi Universitas Indonesia, Dwi Woro Retno Mastuti, Kamis (28/1).
Jika masyarakat Tionghoa dulu menjadikan naga sebagai pemakan Matahari atau Bulan saat gerhana, bangsa Indian Amerika Utara menggunakan coyote. Orang Indian di Amerika Tengah dan Latin memilih jaguar.
Di Indonesia, beberapa etnis yang terpengaruh kuat budaya India menggunakan Bathara Kala atau Rahu sebagai pencaplok Matahari dan Bulan. Beberapa etnis dengan pengaruh budaya Tiongkok tetap naga.
Perburuan gerhana itu mendorong munculnya berbagai penelitian ilmiah tentang gerhana. Pengamatan saintifik pertama GMT dilakukan Johannes Kepler pada 1605. Berikutnya GMT pada 3 Mei 1715, Edmund Halley mampu memprediksi waktu dan jalur terjadinya gerhana dengan baik. Dari terjadinya GMT 16 Agustus 1868, astronom Juless Jansen dari Perancis dan Norman Lockyer dari Inggris berhasil menemukan helium, unsur kedua teringan dan terbanyak di alam.
Penelitian gerhana pun meluas. Pada GMT 29 Mei 1919, astronom Inggris, Sir Arthur Eddington, membuktikan keberadaan pembelokan cahaya bintang di belakang Matahari akibat gravitasi Matahari sesuai teori relativitas umum Einsten. Tak hanya itu, penelitian dalam bidang ilmu kebumian, meteorologi, biologi, dan zoologi selama terjadi gerhana juga turut berkembang.

Baca juga:
 Maksud Hati Menjual Gerhana, Mendongkrak Devisa
Seiring kemajuan telekomunikasi, perburuan gerhana bukan lagi menjadi domain ilmuwan. Masyarakat awam pun kini bisa turut berburu gerhana. Mereka rela mengeluarkan dana besar untuk mendatangi berbagai tempat eksotis di Bumi yang nyaris tak terjamah, seperti Antariksa ataupun menerbangi stratosfer Bumi demi melihat gerhana.
Kemajuan telekomunikasi dan informasi juga mengubah gerhana yang semula jadi hiburan langka dan tak bisa disaksikan semua orang menjadi peristiwa alam yang bisa disaksikan siapa pun dan di mana pun. Dengan teknologi livestreaming, masyarakat di luar jalur GMT yang sempit pun tetap bisa menyaksikan keindahan gerhana yang menyihir.
Sumber : http://sains.kompas.com



http://www.resepkuekeringku.com/2014/11/resep-donat-empuk-ala-dunkin-donut.html http://www.resepkuekeringku.com/2015/03/resep-kue-cubit-coklat-enak-dan-sederhana.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/10/resep-donat-kentang-empuk-lembut-dan-enak.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/07/resep-es-krim-goreng-coklat-kriuk-mudah-dan-sederhana-dengan-saus-strawberry.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/06/resep-kue-es-krim-goreng-enak-dan-mudah.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/09/resep-bolu-karamel-panggang-sarang-semut-lembut.html

0 komentar:

Posting Komentar