Menyambut
Gerhana Matahari
total 9 Maret 2016, harian Kompas menyiapkan
liputan khusus seputar Gerhana Matahari
dari berbagai aspek penyajian. Berisi ulasan teks, foto, dan infografis.
Liputan khusus seperti ini akan diterbitkan setiap Rabu, yang dimulai hari ini
Rabu (3/2/2016) di halaman 1, 24, dan 25 di koran Kompas. Liputan khusus akan hadir hingga gerhana tiba
pada 9 Maret 2016.
Sejak peradaban manusia dimulai, pemandangan langit selalu menimbulkan rasa takjub dan perasaan diri yang kecil. Berbagai peradaban kuno memaknai keanehan fenomena langit, seperti komet, meteor, dan Gerhana Matahari atau Bulan, sebagai pertanda petaka.
Kini,
aneka peristiwa langka itu justru diburu demi kepuasan hasrat ingin tahu
manusia.
Dari
berbagai keganjilan itu, Gerhana Matahari
dan Bulan yang paling banyak direkam manusia. Tak hanya karena keduanya sumber
penerang pada waktu berbeda dan pemberi hangat Bumi, tetapi juga sumber energi
dan penggerak kehidupan di planet biru.
Kekuatan
Matahari dan Bulan membuat muncul keyakinan, menganggap dewa dan dewi yang
memengaruhi nasib manusia. Keduanya sumber inspirasi pelukis goa pada masa
prasejarah, pembaca mantra, penulis, pelukis, hingga sineas modern. Keteraturan
kemunculannya jadi dasar perhitungan waktu. Mereka pula sumber romantisme dan
inspirasi penggugah semangat nasionalisme sejumlah bangsa.
Namun,
saat keteraturan dan sumber kehidupan itu terganggu, manusia masa lalu memaknai
rusaknya tatanan kehidupan langit yang berdampak pada keharmonisan kehidupan
Bumi. Kebetulan, gerhana sering menyertai berbagai peristiwa besar.
Catatan awal gerhana dari Tiongkok. Norma Reis dalam
kumpulan tulisan di Famous Eclipses in History di astronomytoday.com menyebut
raja menghukum dua astronom, Ho dan Hi, yang gagal memprediksi Gerhana Matahari
total (GMT) pada 22 Oktober 2137 Sebelum Masehi (SM) karena terlalu mabuk.
Akibatnya, raja tak bisa menyiapkan penabuh tambur dan pemanah untuk mengusir
naga tak terlihat yang memakan Matahari.
Adapun catatan tertulis gerhana tertua ditemukan di
lempeng tanah bangsa Babilonia di Ugarit, Suriah kini. Para peneliti menyebut
gerhana terjadi 3 Mei 1375 SM. Namun, penelitian T de Jong dan WH van Soldt di
Nature, 16 Maret 1989, menunjukkan 5 Maret 1223 SM. Catatan itu tak hanya
akurat, tetapi juga mencatat pengulangan gerhana yang dikenal siklus Saros.
Di Tanah Air, catatan gerhana muncul belakangan. Catatan relatif banyak untuk gerhana Bulan, tetapi sangat jarang untuk Gerhana Matahari.
Di Tanah Air, catatan gerhana muncul belakangan. Catatan relatif banyak untuk gerhana Bulan, tetapi sangat jarang untuk Gerhana Matahari.
Trigangga dalam "Kajian Astronomi: Melacak Peristiwa
Gerhana Bulan dalam Sumber Tertulis" dalam Aksara dan Bahasa, Asosiasi
Ahli Epigrafi Indonesia, 2001, menyebut catatan tertua gerhana Bulan ditemukan
di Prasasti Sucen di Temanggung, Jawa Tengah, yakni gerhana 19 Maret 843.
Mitologi
Bersamaan pencatatan itu, manusia berusaha memahami
gerhana sesuai dengan kemampuan pikir dan zamannya. Usaha manusia memahami
semesta dan dinamikanya itu melahirkan mitos. "Mitos berkembang atau
dikembangkan untuk menjawab pertanyaan mendasar manusia tentang diri dan lingkungannya,"
kata ahli mitologi Universitas Indonesia, Dwi Woro Retno Mastuti, Kamis (28/1).
Jika masyarakat Tionghoa dulu menjadikan naga sebagai
pemakan Matahari atau Bulan saat gerhana, bangsa Indian Amerika Utara
menggunakan coyote. Orang Indian di Amerika Tengah dan Latin memilih jaguar.
Di Indonesia, beberapa etnis yang terpengaruh kuat
budaya India menggunakan Bathara Kala atau Rahu sebagai pencaplok Matahari dan
Bulan. Beberapa etnis dengan pengaruh budaya Tiongkok tetap naga.
Perburuan gerhana itu mendorong munculnya berbagai
penelitian ilmiah tentang gerhana. Pengamatan saintifik pertama GMT dilakukan
Johannes Kepler pada 1605. Berikutnya GMT pada 3 Mei 1715, Edmund Halley mampu
memprediksi waktu dan jalur terjadinya gerhana dengan baik. Dari terjadinya GMT
16 Agustus 1868, astronom Juless Jansen dari Perancis dan Norman Lockyer dari
Inggris berhasil menemukan helium, unsur kedua teringan dan terbanyak di alam.
Penelitian gerhana pun meluas. Pada GMT 29 Mei 1919,
astronom Inggris, Sir Arthur Eddington, membuktikan keberadaan pembelokan
cahaya bintang di belakang Matahari akibat gravitasi Matahari sesuai teori relativitas
umum Einsten. Tak hanya itu, penelitian dalam bidang ilmu kebumian,
meteorologi, biologi, dan zoologi selama terjadi gerhana juga turut berkembang.
Baca juga: Maksud Hati Menjual Gerhana, Mendongkrak Devisa
Baca juga: Maksud Hati Menjual Gerhana, Mendongkrak Devisa
Seiring kemajuan telekomunikasi, perburuan gerhana
bukan lagi menjadi domain ilmuwan. Masyarakat awam pun kini bisa turut berburu
gerhana. Mereka rela mengeluarkan dana besar untuk mendatangi berbagai tempat
eksotis di Bumi yang nyaris tak terjamah, seperti Antariksa ataupun menerbangi
stratosfer Bumi demi melihat gerhana.
Kemajuan telekomunikasi dan informasi juga mengubah
gerhana yang semula jadi hiburan langka dan tak bisa disaksikan semua orang
menjadi peristiwa alam yang bisa disaksikan siapa pun dan di mana pun. Dengan
teknologi livestreaming, masyarakat di luar jalur GMT yang sempit pun tetap
bisa menyaksikan keindahan gerhana yang menyihir.
Sumber : http://sains.kompas.com
0 komentar:
Posting Komentar